-->
mrioaldino
mrioaldino Optimistic man!

Indonesia Bebas Bullying!

1 komentar

       Bullying serasa hampir tak asing terdengar di telinga, akhir-akhir ini banyak kasus tentang bullying yang membuat saya harus banyak-banyak mengelus dada. Saya sangat-sangat yakin, Saya sangat-sangat percaya bahwasanya krisis moral itu nyata adanya, bahwasanya cacat mental itu benar adanya. Indonesia, negara yang katanya multikultural, negara yang katanya tengah mengalami bonus demografi, negara yang lagi gencar-gencarnya menyongsong Indonesia emas 2045, faktanya harus siap menerima kenyataan jika sebagian besar anak usia produktif di Indonesia tersebut tengah mengalami sakit mental, bisa jadi sakit jiwa. Ingat saya tidak menjustifikasi semua anak muda Indonesia mengalami kelainan mental ya, hanya sebagian oknum. Siapa mereka yang saya anggap sakit jiwa? Ya salah satunya mereka para pelaku bullying.
Tak usah saya beberkan satu-persatu berbagai macam kasus bullying yang pernah terjadi di Indonesia, saya rasa jika teman-teman melek informasi dan berita pasti kalian mengerti. Yang akan kita perdebatkan ialah tentang hukum yang mengatur tindak perundungan ini di Indonesia, apakah sudah teraplikasi dengan baik? Bagaimana nasib para pelaku bullying yang notabene masih anak di bawah umur, apakah UU perlindungan anak dipandang perlu diperhatikan lagi. Jika berimbas dengan menghilangkan nyawa seseorang, atau membuat rasa trauma yang mendalam terhadap korban itu bisa dengan mudah dimaafkan atau istilahnya berbuat, dimediasi, diceramahi, klarifikasi, selesai. Apakah siklus tersebut akan terus terulang bila para pelaku bullying ini masih berstatus anak dibawah umur. Saya rasa ini tetap tidak adil jika kita memandang dari segi kemanusiaan, oke kita sama-sama menghargai UU perlindungan anak namun ada hal yang membuat hati saya tak terima, meskipun saya bukan korban namun saya pemerhati. Saya bisa membayangkan bagaimana jika kasus bullying tersebut terjadi pada salah satu anggota keluarga saya, tentu tidak semudah itu batin memaafkan meskipun pada hakekatnya manusia adalah makhluk pemaaf. Saya sangat menghargai adanya UU No. 35 Tahun 2014  Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi  ‘’Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi’’. Sepakat dengan bunyi ini, namun bagi saya ada situasi-situasi dimana sang anak berhak mendapat perlindungan hukum seperti itu dan ada kalanya tak harus diperhitngkan, meski berstatus sebagai anak dibawah umur namun saya rasa kurang adil bila seorang anak dibawah umur dengan berani menghilangkan kebahagian anak lainya bahkan sampai merenggut harapan mereka untuk hidup panjang. Tak beduli dengan berbagai motif perundungan yang terjadi, namun saya rasa harus ada sisi keadilan yang dipertimbangkan disini sesuai isi kandungan sila ke 5 ‘’Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’’. Harus benar-benar ada aturan yang memaksa para pelaku dibawah umur ini jera. Entah itu gagasan hukuman penjara bagi anak dibawah umur, rehabilitasi mental, ataupun hukum sosial atau adat. Jika masih muda saja mentalnya bobrok, bagaimana masa depan negara ini. Apakah kita yakin di 2045 situasi Indonesia emas benar-benar kondusif mengingat masih banyaknya pemikiran generasi muda yang jomplang. Masih optimis sih, karena masih banyak juga kok anak muda Indonesia yang baik dan berjiwa kesatria, tapi harus ingat jika setumpuk sampah bisa mempengaruhi wanginya kebun bunga bila dicampur aduk menjadi satu. Logikanya jika satu orang buruk mampu mempengaruhi 10 orang baik untuk menjadi buruk pula.
            Kasus Audrey menyorot perhatian seluruh masyarakat Indonesia bahkan dunia, menjadi korban salah sasaran namun nyatanya tindakan para pelaku tetap tak dapat ditolerir walaupun status mereka adalah anak dibawah umur. Mem-Bully, menganiyaya, menimbulkan trauma psikis yang mendalam rasanya tak pantas bila hanya mendapat teguran, introgasi, dan dibebaskan lalu diselesaikan secara kekeluargaan hanya karena kuatnya pengaruh UU perlindungan anak. Saya melihat ada raut kepuasan tanpa penyesalan di diri 12 pelaku perundungan Audrey. Bukanya mengakui kesalahan dan menyesal, mereka masih sempat mengabadikan moment instastory mereka ke Instagram pada saat mereka berada di kantor kepolisian. Memang the power of social media itu tak berbatas. Disinilah saya berani berkata, bahwa ada yang salah dengan anak-anak ini, mungkin ada kelainan mental yang mesti dikaji pada diri mereka. Memang segala tindak diskriminasi pada anak dibawah umur itu tidak dibenarkan, oke para pelaku tengah mengalami diskriminasi oleh masyarakat saya rasa itu wajar dan pantas malah belum seberapa, namun bagaimana dengan diskriminasi yang dilakukan para pelaku terhadap korban. Apakah setelah kasus ini kalian berani menjamin bahwa hidup korban akan baik dan seoptimis seperti sebelumnya, apakah dengan smudah itu kejiwaanya akan pulih.  Berkaca pada dunia pendidikan nasional, saya rasa setiap era pemerintahan menginginkan dan merencanakan pemenuhan kualitas pendidikan yang mumpuni baik pendidikan formal, karakter, ataupun mental. Lantas apa yang salah dengan peran pendidikan di sekolah? Saya rasa cara anak memahami setiap ilmu yang diserap masih belum sempurna, mungkin ada yang salah dari pola asuh orangtua, asupa gizi, atau mungkin era teknologi lah yang merubah semua pola pikir anak era sekarang. Era dulu guru dipandang hormat, dijunjung dan disanjung, era kini guru dipandang rendah dan kadang lupa caranya dihargai. Kita tak bisa saling menyalahkan perihal mendidik, setiap manusia punya cara tersendiri untuk memanusiakan manusia.
Ada banyak faktor pendukung terjadinya berbagai tindak bullying, persetan dengan berbagai motif bullyng intinya tindakan tersebut adalah salah dan tak dapat diterima oleh akal sehat. Mau itu karena adu argumen di social media, mau itu karena masalah rebut-rebutan pacar, mau itu masalah candaan semata yang jelas para pelaku bullying itu lebih hina dari yang di bully. Tak terbayang betapa kuatnya dampak pasca bullying yang diterima setiap korban, mungkin ada sebagian yang bisa menerima dan sabar, namun apa kabar mereka yang takut bersuara. Bahayanya adalah, korban bullying bisa saja pupus harapan bahkan hilang semangat untuk hidup dan takut bersosialisasi. Bukanya menakut-nakuti namun ini bisa saja terjadi. Jika ini tentang mental yang bobrok, lantas apa yang bisa orangtua, pemerintah, dan kita perbuat untuk meminimalisir tindak perundungan yang akan terjadi selanjutnya. Apakah revolusi mental perlu ditekankan? Dirasa jika ini solusi yang paling kredibel untuk mengatur moral masyarakat, why not? Yang jelas saat ini yang dibutuhkan adalah UU dan peraturan yang tepat untuk menentaskan permasalahan ini. Peran pendidikan formal harus terus diperkuat dan di monitoring dengan baik, nilai-nilai Pancasila harus selalu ditanamkan dari dini bahkan hingga jenjang perguruan tinggi sekalipun, arahkan masa depan generasi muda ke berbagai hal positif, kalaupun dengan mereduksi penggunaan social media dapat menjadi solusi untuk memperbaiki moral anak, maka lakukanlah itu wahai para orangtua. Tenang anak-anak tak akan buta teknologi, mereka hanya butuh step-step yang benar dalam memanfaatkan media dan teknologi.
Mari kita berdo’a dan mengantungkan harapan untuk kebaikan Indonesia di masa mendatang, semoga moral generasi penerus bangsa selalu baik, dan semoga kasus Audrey menjadi titik akhir atas berbagai kasus bullying. Amin!
#JusticeForAudrey


mrioaldino

1 komentar

  1. ada 8 permainan poker menarik di AJOQQ :D
    ayo segera bergabung dan dapatkan bonusnya :D
    WA : +855969190856





banner



Klook.com