‘’Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk
mengubah dunia’’-Nelson Mandela
Entah percaya atau tidak,
kalimat ajaib dari Nelson Mandela itu benar adanya. Memperoleh pendidikan yang
layak ialah hak setiap manusia, pendidikan tidak hanya tentang bagaimana
manusia menanggapi sains, bagaimana cara manusia menciptakan suatu perubahan,
namun cara bersikap dan berperilaku tentu termasuk ke dalam unsur penting pendidikan.
Tidak akan berguna sebuah pistol ditembakan jika tanpa peluru di dalamnya,
begitu pula pendidikan tidak akan terasa ampuh teori-teori yang diperaktikan
jika manusia tak mampu bersikap dengan baik dan santun terhadap ilmu yang
dimiliki. Dan yakinlah, setiap hal yang kita lakukan tentu berpotensi menjadi
sebuah ilmu pengetahuan baru, karena pendidikan itu luas maknanya tak hanya
terpaku pada satu cabang ilmu pengetahuan. Otak manusia itu sejatinya liar
dalam berfikir, bahkan satu ide sederhana yang dihasilkan oleh otak manusia
saja dapat mengubah peradaban. Itulah kenapa Nelson Mandela berujar seperti itu,
ya karena pendidikan yang dihasilkan manusia itu bervariasi adanya, tidak
berlaku statis namun bergerak dinamis menuju arah perubahan yang positif.
Namun, terkadang manusia mudah terlena dengan ilmu pengetahuan yang mereka
miliki, pendidikan dan ilmu pengetahuan yang diterima ternyata masih kerap kali
disalah artikan, inilah tandanya jika otak dan hati masih sangat sulit untuk
sinkron, tentu idealisme itu dianjurkan namun tetap harus realistis juga
rasanya. Masalah-masalah seperti inilah yang harus segera diluruskan, tentunya
kita tidak mau jika senjata yang dimaksud ialah senjata yang dapat
mengakibatkan kehancuran zaman, hanya karena kesalahan manusia dalam menerapkan
sebuah sistem pendidikan. Terlepas dari pemaparan tersebut, bagaimana nasib
pendidikan di Indonesia yang notabene penduduknya sangat terbuka dalam menerima
arus globalisasi, akankah globalisasi merubah cara masyarakat Indonesia dalam
menyikapi pendidikan?
tut wuri handayani, ing
madya mangun karsa, ing ngarsa sung tulada (di belakang
memberi dorongan, di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa, di depan
memberi teladan) mungkin inilah sebuah kenangan yang ditinggalkan bapak
pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara untuk anak-anak bangsa di era sekarang,
kalimat tersebut menjadi salah satu semboyan penting bagi pendidikan Indonesia.
Pendidikan di tanah air terus menuju arah pembenahan, meski data terakhir dari
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) tahun 2017 menunjukan
jika sistem pendidikan Indonesia masih bercokol di peringkat ke-57 dari total
65 negara, sementara di urutan pertama sebagai negara dengan sistem pendidikan
terbaik di dunia masih dipegang oleh negara Finlandia. Merujuk pada data
tersebut, tentu peringkat ke-57 belum terlalu baik untuk Indonesia yang mana
siswa-siswinya kerap meraih penghargaan pada ajang-ajang olimpiade sains internasional.
Indonesia adalah gudang bagi mereka yang mampu merubah peradaban dengan
pendidikan, sebut saja R. A. Kartini dengan kegigihanya memperjuangan
emansipasi wanita kala itu, mantan presiden ketiga Indonesia B. J. Habibie
dengan kecerdasanya dalam mengembangkan sektor kdirgantaraan Indonesia, ataupun
tokoh yang telah kita sebut diawal Ki Hajar Dewantara seorang pelopor
pendidikan bagi Indonesia. Namun ingat, itu adalah mereka yang dahulu, mereka
yang berjaya pada masanya, lantas bagaimana dengan realitas para pengenyam
pendidikan masa ini tepatnya para pemuda/I calon generasi penerus bangsa, masih
adakah yang segigih mereka sepertihalnya di masa lalu? Dirasa masih ada, namun
intensitasnya saja yang tak sesuperior dulu. Orang-orang Indonesia mulai tampak
apatis dalam menanggapi nasib bangsa, mereka yang hidup pada era millenials ini
terlalu asyik dengan fasilitas teknologi yang mereka miliki, padahal mereka
tahu jika masa depan bangsa ini bergantung ditangan mereka pemuda/I yang hidup
pada zaman ini, puncaknya ialah ketika Indonesia memasuki tahun emas pada 2045
dimana dapat diprediksi bagi mereka yang hidup pada zaman ini yang rentang
umurnya sekitar 20 tahunan tentu akan memasuki usia matang untuk menjadi
seorang pemimpin bangsa pada era Indonesia emas mendatang, namun itu semua akan
terasa percuma jika mental calon penerus generasi bangsa ini telah dirusak
dengan arus perkembangan zaman yang semakin ekstrem ini. Tak dapat dipungkiri
jika sistem pendidikan di Indonesia memang kerap bergonta-ganti mungkin karena
harus menyesuaikan dengan perkembangan era, beda era maka beda juga cara
peserta didik dalam menyerap ilmu pengetahuan yang diberikan. Pemerintah
Indonesia masih mencari formasi yang tepat agar bibit-bibitnya tetap berpegang
teguh pada nilai-nilai Pancasila dan mengutamakan pendidikan tinggi untuk
mewujudkan cita-cita. Karena dapat kita sadari, begitu mudahnya globalisasi
merubah tatanan hidup masyarakat dunia termasuk Indonesia, memang kita harus
selalu siap menerima perubahan ini karena akan sulit bagi kita untuk menolak
perubahan zaman bahkan dapat dibilang mustahil bisa. Bila membandingakan
presentase mengenai dampak positif maupun negatif dari perkembangan zaman ini
terhadap pola kehidupan manusia mungkin akan bernilai seimbang, tak semuanya
buruk dan tak semuanya juga positif ini hanyalah masalah bagaimana individu
menanggapinya. Dirasa anak muda zaman ini mulai mengalami yang namanya
degradasi moral atau kemerosotan nilai moral, demokrasi media yang seharusnya
diperuntukan untuk membangun citra positif bangsa malah kerap dipergunakan
untuk menjatuhkan suatu pihak, tentu ini memperlihatkan betapa kejamnya dunia
digital dibandingkan realita yang sebenarnya, kemajuan teknologi yang juga
berperan sebagai media pendidikan ini seharusnya dimanfaatkan oleh masyarakat
terkhususnya anak muda untuk mengukir prestasi bahkan mengangkat citra positif
bangsa di dunia Internasional bukan untuk memecah belah persatuan. Hal inilah
yang mengakibatkan mengapa kualitas pendidikan negeri kita masih kerap
dipandang tertinggal oleh negara pesaing.
Lantas
apakah separah itukah dampak globalisasi dalam merubah tatanan kehidupan
masyarakat Indonesia terutama dalam mengenyam pendidikan? Jika kita menengok ke
belakang dan membandingkan cara-cara orang zaman dahulu menempuh pendidikan dan
belajar terhadap cara anak-anak zaman sekarang dalam belajar, memang terlihat
perbedaan yang sangat signifikan. Zaman dahulu teknologi belum secanggih dan
sekompeks era sekarang, anak-anak zaman dulu memang lebih mangandalkan
buku-buku serta karya literatur yang terpajang diperpustakan untuk dipelajari
dan memperkaya ilmu pengetahuan dan itu mereka jalani dengan sepenuh hati serta
semangat tinggi, hasilnya pun dapat mereka nikmati di masa depannya. Nah,
berbeda halnya dengan generasi millenials sekarang, dengan akses ilmu
pengetahuan yang semakin mudah dengan adanya modernisasi teknologi tentu tak
sulit bagi mereka untuk belajar, mereka tak harus terus-menerus hadir ke
perpustakan untuk meminjam buku karena mesin pencari di internet dapat
menyajikan kebutuhan tersebut dengan mudah, cepat dan lengkap. Namun ironisnya,
teknologi yang dimaksud malah lebih sering dipergunakan untuk melakukan
aktivitas hiburan lain dibanding belajar, untuk belajar pun siswa hanya mencopy-paste bahan materi tanpa ada niat
untuk membaca isi pesan yang disampaikan. Maka jangan heran jika angka remaja
malas di Indonesia lumayan tinggi, jika menurut OECD sistem pendidikan
Indonesia menduduki peringkat ke-57 maka berdasarkan studi Most Littered Nation In the World 2016 minat
baca di Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara dan ini sangat
mengkhawatirkan. Selain itu, Pengaruh internet juga semakin menumbuhkan sikap
individualisme serta apatis masyarakat Indonesia terhadap lingkungan sosial,
padahal jika ini terus berlanjut bukan tidak mungkin rasa solidaritas dan
toleransi masyarakat akan semakin terkikis. Jika dengan sesama manusia saja
sudah saling apatis, apalagi dengan bangsanya sendiri bisa-bisa tak ada
sedikitpun niat dari masyarakat terutama generasi muda untuk memajukan bangsa.
Peran
keluarga memang sangat dominan disini, keluarga adalah orang pertama yang
dihadapi seorang anak ketika terlahir ke dunia. Memang sejatinya seorang anak
mendapat perhatian penuh dari keluarga sejak ia kecil, karena dengan hidup di
lingkungan yang positif mental seorang anak akan terbentuk baik. Mereka
diyakini akan mudah menentang zaman dan melakukan hal-hal terbaik dalam
kehidupan mereka. Selain keluarga, peran sekolah, pendekatan agama juga harus
dikuatkan serta pemerintah harus segera mencari solusi untuk menuntaskan
masalah pendidikan ini, selalu tekankan kepada anak-anak muda bangsa untuk
senantiasa cinta dan rela berkorban untuk Indonesia. Yakinlah bangsa Indonesia
akan menjadi kuat dimasa mendatang tepatnya di 2045 dengan kualitas anak
mudanya yang mumpuni.
Note : Essay ini sempat saya ikutkan di lomba Essay PPI Hongaria namun kalah, but semoga tulisan ini bermanfaat ya.
SAAT INI SUDAH WAKTUNYA BERALIH KE YANG LEBIH MUDAH, DOWNLOAD APLIKASI MYDRAKOR DI GOOGLEPLAY, nonton film drama korea dia aplikasi MYDRAKOR, tinggal Download di GooglePlay secara gratis, banyak drama terbaru.
BalasHapushttps://play.google.com/store/apps/details?id=id.mydrakor.main
https://www.inflixer.com/
Posting Komentar